BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seperti
halnya pada permintaan dalam Islam yang diturunkan dari fungsi konsumsi, maka
teori penawaran hakikatnya adalah derivasi dari perilaku individu-individu
perusahaan dalam analisis biayanya. Pada bagian-bagian di muka telah diterangkan
bahwa tidak ada perusahaan yang bersedia berproduksi ketika tingkat harga yang
berlaku lebih kecil daripada biaya variable rata-rata. Jadi, setiap peusahaan
hanya akan berproduksi jika harga yang berlaku lebih tinggi daripada biaya variabel
dari sinilah kita daprata-ratanya. Pada dasarnya terdapat garis harga yang tak
terbatas jumlahnya di atas titik perpotongan antara kurva biaya marginal dengan
kurva biaya variabel rata-rata, dan dari sinilah kita dapat menemukan berapa
kuantitas yang dapat ditawarkan pada setiap tingkatan harga.
Berbicara tentang teori penawaran dalam kerangka
ekonomi Islam sebenarnya merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang teori
permintaan dalam ekonomi Islam. Sama halnya dalam ilmu ekonomi konvensional,
dalam ilmu ekonomi Islam pembahasan persoalan ini menyangkut faktor-faktor atau
variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kedudukan penawaran suatu barang
atau jasa tertentu.
Sebagian penjelasan tentang aspek penawaran dalam
ekonomi Islam telah diungkapkan dalam penjelasan tentang permintaan (Basri:
2006). Pertama, Simplikasi diatas dirasa belum mampu mewakili pemahaman teori
penawaran islam secara gamblang (menyeluruh), karena jelas yang diungkap lebih
banyak mengenai teori permintaan. Sehingga perlu ada penjelasan atau pemaparan
tersendiri mengenai teori penawaran Islam melalui pendekatan analisis sisi
persamaan dan jelas perbedaanya dengan teori penawaran dalam ekonomi
konvensional. Kedua, Seiring rasa keingintahuan yang tinggi mengenai teori
penawaran dalam Ekonomi Islam, juga didorong oleh adanya stimulus yang
dihadirkan dosen pengampu untuk membuat paparan dalam bentuk makalah (Paper)
dan persentasi maka keharusan untuk memahami bahasan ini semakin menjadi-jadi.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami hanya akan
membahas hal-hal mengenai teori penawaran dalam Ekonomi Mikro Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Teori
Penawaran Islami?
2.
Bagaimana Pengaruh
Zakat terhadap Penawaran?
3. Bagaimana
Kurva Penawaran Jangka Pendek dalam Teori Penawaran Islami?
4.
Bagaimana Marginal
Cost dan Kurva Penawaran dalam Teori Penawaran Islami?
5.
Apakah yang
dimaksud Produser Surplus?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
tentang Teori Penawaran Islami.
2.
Untuk mengetahui
Pengaruh Zakat terhadap Penawaran.
3.
Untuk mengetahui
bagaimana Kurva Penawaran Jangka Pendek dalam Teori Penawaran
Islami.
4.
Untuk mengetahui
bagaimana Marginal Cost dan Kurva Penawaran dalam Teori Penawaran Islami.
5.
Untuk mengetahui
apa itu Produser Surplus.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Penawaran Islami
Membahas
teori penawaran Islami, kita harus kembali kepada sejarah penciptaan manusia.
Bumi dan manusia tidak diciptakan pada saat yang bersamaan. Bumi berevolusi
sedemikian rupa sampai suatu saat segalanya siap untuk manusia, ketika itulah
manusia pertama diciptakan dan diturunkan ke muka bumi. Apa makna dari kisah
tersebut? Tidak lain dan tidak bukan maknanya adalah bahwa Allah swt telah
rnempersiapkan bumi ini untuk kepentingan manusia. Lihatlah Surat lbrahim ayat
32-34 berikut:
Artinya:
32. Allah-lah yang telah
menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia
mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu;
dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan
dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
33. Dan Dia telah menundukkan (pula)
bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan
telah menundukkan bagimu malam dan siang.
34. Dan Dia telah memberikan
kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika
kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.
Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).
Firman-Nya dalam surat Luqman ayat
20:
Artinya:
20. Tidakkah kamu perhatikan
Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan
di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu
pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.
Dalam
memanfaatkan alam yang telah disediakan Allah bagi keperluan manusia, larangan
yang harus dipatuhi adalah “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.
Larangan ini tersebar di banyak tempat dalam Al-Qur'an dan betapa Allah sangat
membenci mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi. Meskipun definisi
kerusakan tersebut sangat luas, akan tetapi dalam kaitannya dengan produksi,
larangan tersebut memberi arahan nilai dan panduan moral.
Produksi
Islami bukan hanya dilarang mengakibatkan kerusakan dalam memanfaatkan alam dan
lingkungan, artinya ia tidak boleh mengakibatkan hutan menjadi gundul dan
berubah menjadi lahan kritis yang mengakibatkan banjir dan longsor, menimbulkan
polusi yang di atas ambang batas yang aman bagi kesehatan. Produksi Islami juga
haram menghasilkan produk-produk yang apabila dikonsumsi akan menimbulkan
kerusakan, baik itu rusaknya kesehatan, apalagi rusalanya moral dan
kepribadian. Contoh, jika telah terbukti secara ilmiah bahwa rokok menimbulkan
begitu banyak mudarat dibandingkan manfaat yang dihasilkannya maka memproduksi
rokok adalah hal yang tidak Islami. Sudah barang tentu, Islam melarang produksi
barang-barang yang diharamkan seperti minuman keras, obat bius, dan sebagainya.
Demikian pula barang dan jasa yang merusak akhlak seperti hiburan-hiburan yang
tidak mendidik.
Aturan etika
dan moral yang membatasi kegiatan produksi tersebut tentu saja berpengaruh
terhadap fungsi penawaran barang dan jasa. Sebagai contoh, apabila suatu proses
produksi menghasilkan polusi, maka biaya lingkungan dan sosial tersebut harus
dihitung dalam ongkos produksi sehingga ongkos meningkat dan penawaran akan
berkurang. Dampaknya, kurva penawaran akan bergeser ke kiri. Di negara Barat,
dalam tersebut telah dilakukan dengan mengenakan pajak polusi atau dikenal
dengan istilah Pigouvian Tax yang
tujuannya agar perusahaan memperhitungkan biaya eksternal yang timbul akibat
kegiatan produksinya sehingga mempengaruhi keputusan produksi dan penjualannya.
Secara umum
tidak banyak perbedaan antara teori permintaan konvensional dengan Islami
sejauh hal itu dikaitkan dengan variabel atau faktor yang turut berpengaruh
terhadap posisi penawaran. Bahkan bentuk kurva secara umum pada hakekatnya
sama. Satu aspek penting yang memberikan suatu perbedaan dalam pespektif ini
kemungkinan besar berasal dari landasan filosofi dan moralitas yang didasarkan
pada premis nilai-nilai Islam.
Pertama
adalah bahwa Islam memandang manusia secara umum, apakah sebagai konsumen atau
produsen, sebagai suatu objek yang terkait dengan nilai-nilai. Nilai-nilai yang
paling pokok yang didorong oleh Islam dalam kehidupan perekonomian adalah
kesederhanaan, tidak silau dengan gemerlapnya kenikmatan duniawi (zuhud)
dan ekonomis (iqtishad). Inilah nilai-nilai yang seharusnya menjadi
trend gaya hidup Islamic man. Kedua adalah norma-norma Islam yang
selalu menemani kehidupan manusia yaitu halal dan haram. Produk-produk dan
transaksi pertukaran barang dan jasa tunduk kepada norma ini. Hal-hal yang
diharamkan atas manusia itu pada hakekatnya adalah barang-barang atau
transaksi-transaksi yang berbahaya bagi diri mereka dan kemaslahatannya.
Namun
demikian, bahaya yang ditimbulkan itu tidak selalu dapat diketahui dan dideteksi
oleh kemampuan indrawi atau akal manusia dalam jangka pendek. Sikap yang benar
dalam menghadapi persoalan ini adalah kepatuhan kepada diktum disertai
pencarian hikmah di balik itu. Dengan kedua batasan ini maka lingkup produksi
dan pada gilirannya adalah lingkup penawaran itu sendiri dalam ekonomi Islam
menjadi lebih sempit dari padayang dimiliki oleh ekonomi konvensional. Dengan
demikian terdapat dua penyaringan (filtering) yang membuat wilayah penawaran
(domain) dalam ekonomi Islam menyempit yaitu filosofi kehidupan Islam dan norma
moral Islam.
1. Asumsi-Asumsi
Sekalipun
jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh buku-buku teks
ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu telah berfungsi
sebagai landasan bagi teori-teori mereka. Ketidakterusterangan dalam persoalan
ini bisa saja dipicu oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang menjadi nilai bagi
mereka sebenarnya berlaku juga bagi masyarakat lain. Tokoh ekonom Barat yang
paling egaliter semacam Gunnar Myrdal sekalipun masih menyimpan sikap
etnosentris yang menganggap bahwa nilai-nilai yang menjadi pondasi kemajuan
ekonomi Barat sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia. Karena itulah perlu
kiranya kita menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang memiliki implikasi dalam
aspek penawaran.
Pertama, homo
economicus. Dalam ekonomi konvensional, para pelaku dan pemain ekonomi
(economic agent) dipandang sebagai suatu makhluk ekonomi yang berusaha untuk
melampiaskan keinginannya dengan cara apapun. Nafsu ingin memenuhi segala
keinginannya dan cara yang dipakai untuk memenuhinya seringkali atau pada
umumnya tidak dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan norma
moral, baik yang diambil dari ajaran agama maupun dari filsafat (etiket). Hal
ini menimbulkan dorongan tanpa batas untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
terhadap sumber-sumber daya yang tersedia di alam bagi pemenuhi keinginan
manusia. Selama usaha manusia dipertaruhkan untuk memenuhi keinginannya,
mengejar keuntungan dalam teori penawaran, selama itu pula ia dianggap sebagau
sebuah usaha yang baik. Hal ini menimbulkan pengurasan sumber daya alam yang
tersedia sehingga berakibat pada terancamnya keseimbangan ekologi terutama bagi
generasi mendatang.
Semua kreasi
dan inovasi dipacu dan terus diraih atas nama ekonomi. Padahal tidak semua
barang atau jasa yang diproduksi tersebut penting untuk diciptakan bagi
kepentingan manusia. Sebagian dari barang yang diproduksi itu pada hakekatnya
suatu bentuk kemubaziran karena sebenarnya tidak perlu diproduksi atau
sebenarnya ada barang lain yang menempati ranking lebih penting harus terlebih dahulu
diproduksi. Hal ini mengakibatkan sistem perekonomian menjadi tidak dapat
dikendalikan (unmanageable).
Dalam
perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam sehingga
nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara
untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam
yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang
dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil
dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah). Dalam
perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara
syar’i.
Kedua,
rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang pertama. Jika
ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic man yang
selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun, maka asumsi
rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya dalam rangka
memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan pikirannya
untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah makhluk rasional. Ketika
produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich, dengan
mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak perlu
dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai guna
(utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas
dan hal itu secara ekonomi adalah baik.
Dalam
perspektif ekonomi Islam, asumsi ini tetap menjadi acuan tetapi dengan beberapa
catatan dan tambahan. Adanya injeksi norma moral Islam akan menjadi pelita bagi
tiap-tiap agen ekonomi untuk bertindak rasional tetapi dalam kerangka
nilai-nilai Islam. Gaya hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam
memproduksi dan mengkonsumsi serta selalu memperhatikan batas halal dan haram
merupakan rambu-rambu yang akan memberikan teguran kepada Islamic man.
Ketiga, netral terhadap nilai (value netral).
Asumsi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari disiplin ilmu ekonomi
konvensional yang dipandang sebagai disiplin positif.
Tugas dari
suatu disiplin yang positif adalah menggambarkan realitas atau suatu fenomena
secara objektif tanpa ada unsur campur tangan dari pengamat. Di awal-awal
perkembangan ilmu ekonomi menjadi suatu disiplin ilmiah, banyak pakarnya yang
cenderung menjadikannya sebagai suatu ilmu positif dan eksak layaknya fisika
atau kimia. Sekalipun hingga sekarang terbukti bahwa ilmu ekonomi konvensional
tidak selalu positif, tetapi buku-buku teks masih selalu alergi jika dikaitkan
dengan moral terutama yang berasal dari nilai-nilai keagamaan. Gejala ini
disebabkan karena sekulerisme dalam ilmu pengetahun telah mencapai akar-akarnya
sehingga buah yang muncul dari ilmu pengetahun itu sudah terkena racun
sekulerisme. Namun perlu dicatat bahwa asumsi netral terhadap nilai ini tidak
selalu dapat dipertahankan.
Umumnya
dalam bidang ilmu mikro ekonomi akar netralitas ini begitu kuat dan menghujam,
tetapi dalam makro ekonomi tidak demikian. Malahan kita dapat melihat bahwa
semua tujuan-tujuan pokok dalam bidang makroekonomi pada hakekatnya adalah
bermuatan nilai (value laden) misalnya tentang kesempatan kerja penuh (full
employment), stabilitas nilai tukar dan harga dan lain-lain. Bahkan kebijakan
pemerintah di hampir semua bidang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai.
Adanya
keterikatan kepada nilai dalam penawaran tidak menjadikan kinerja produksi dan
penawaran dalam perspektif Islam kekurangan insentif. Dengan injeksi moral
Islam justru membuka dan mempeluas horizon dan berfungsi mendorong agen ekonomi
untuk berusaha dengan lebih baik dan efisien. Bagi mereka yang memahami Islam
secara parsial dan tidak komprehensif merasa bahwa semua nilai-nilai ini hanya
berfungsi sebagai hambatan dalam ekonomi dan pembangunan. Kesimpulan ini amat
naif dan terkesan tergesa-gesa serta dilatarbelakangi oleh kebodohan.
B.
Pengaruh
Zakat Terhadap Penawaran
Pengaruh
zakat terhadap penawaran dapat dilihat dari dua sisi. Yang pertama adalah
melihat pengaruh kewajiban membayar zakat terhadap perilaku penawaran. Dalam
hal ini dicontohkan zakat perniagaan. Di sisi lain adalah pengaruh zakat
produktif, yakni alokasi zakat kegiatan produktif dari mustahik terhadap kurva
penawaran.
Zakat yang
dikenakan pada hasil produksi adalah zakat perniagaan, yang baru dikenakan
apabila hasil produksi dijual dan hasil penjualan telah memenuhi nisab (batas
minimal harta yang menjadi objek zakat yaitu setara 96 gram emas) dan haul
(batas minimal waktu harta tersebut dimiliki yaitu satu tahun). Bila nisab dan
haul telah terpenuhi, maka wajiblah dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5%.
Objek zakat
perniagaan adalah barang yang diperjualbelikan. Dalam ilmu ekonomi, ini
berarti yang menjadi objek zakat perniagaan adalah revenue minus cost. Ulama berbeda pendapat mengenai komponen biaya.
Sebagian berpendapat bahwa biaya tetap boleh diperhitungkan, sedang sebagian
lainnya berpendapat bahwa hanya biaya variabel saja yang boleh diperhitungkan.
Dalam ilmu ekonomi pendapat pertama berarti yang menjadi objek zakat adalah economic rent, sedangkan pendapat kedua
berarti yang menjadi objek zakat adalah quasi rent
atau producer surplus.
Pendapat
mana pun yang digunakan atas objek zakat ini sama sekali tidak memberikan
pengaruh terhadap ATC, yang berarti pula tidak ada pengaruh terhadap profit
yang dihasilkan. Pengenaan zakat perniagaan juga sama sekali tidak memberikan
pengaruh terhadap MC, yang berarti pula tidak memberikan pengaruh terhadap
kurva penawaran. Upaya memaksimalkan profit berarti pula memaksimalkan producer
surplus, dan sekaligus berarti memaksimalkan zakat yang harus dibayar. Jadi
dengan adanya pengenaan zakat perniagaan perilaku memaksimalkan profit berjalan
sejalan dengan perilaku memaksimalkan zakat.
C.
Kurva
Penawaran Jangka Pendek
Pada
gambar 7.1 di bawah ini tampak bahwa MC, MR, dan kurva biaya variabel rata-rata
(AVC: Average Variable Cost). Pada
setiap harga yang berada di atas P1, maka berapapun penjualan yang
dilakukan oleh produsen, harga selalu melebihi AVC sehingga produsen masih
mendapatkan laba ekonomis positif.
Apabila
harga berada pada saat MC sama dengan AVC, maka titik perpotongan ini disebut
titik impas jangka pendek (short-run break-event point. Di mana pada harga ini
produsen tidak mendapatkan laba ekonomis, namun hanya mencapai tingkat BEP
saja. Dengan demikian, titik impas tersebut hanya akan beroperasi pada saat
harga di atas AVC. Untuk mendapatkan tingkat keuntungan optimal produsen akan
berproduksi
ketika MC=MR, apabila kita asumsikan pasar bersifat persaingan sempurna maka
harga (p) juga berfungsi sebagai MR. dengan demikian, MC=P=MR, pada gambar 7.1
di atas bila harga yang berlaku di pasar dalam jangka pendek adalah P* maka
produsen akan memperoleh keuntungan ekonomis sebesar P*E*QS. Dengan demikian,
kita dapat mengatakan bahwa kurva MC yang berada di atas kurva AVC adalah garis
yang menerangkan produsen bersedia berproduksi. Untuk memperjelas, kurva
penawaran, pada gambar 7.1 apabila U1 dan U2 dihubungkan, maka kita akan
mendapatkan kurva penawaran. Perlu diingat bahwa kurva penawaran seperti yang
tampak pada gambar 7.1 adalah fungsi penawaran untuk individu produsen dan
bukannya fungsi penawaran untuk industry atau pasar.
Kurva
marginal untuk kedua perusahaan yang berbeda dilambangkan dengan MCa pada
panel (a) dan MCb pada panel (b). Kedua kurva biaya marginal
ini hanya berlaku bila harga-harga lebih besar daripada biaya variabel
rata-rata minimum dari masing-masing produsen. Pada panel (a), perusahaan hanya
akan berproduksi sebanyak q1a, jika harga yang berlaku
adalah P1 dan bila harganya P2, maka perusahaan akan
berproduksi sebesar q2a. Hal ini juga berlaku bagi
produsen kedua yang akan berproduksi pada q1b apabila
harga yang berlaku P1 begitu juga bila harga berada pada P2
maka produsen kedua akan berproduksi pada q2b. Kalau kita
asumsikan industri yang sama hanyalah produsen a dan b maka penambahan secara
horizontal merupakan penawaran industri atau ∑ MC.
D.
Marginal
cost dan kurva penawaran
Dalam
jangka pendek perusahaan akan memaksimalkan labanya dengan memilih jumlah
output di mana harga sama dengan marginal cost,3 selama tingkat
harga tersebut lebih besar daripada nilai minimal biaya variabel rata-rata
(average variabel cost, AVC).4 Jika kedua keadaan tersebut
terpenuhi, maka itulah kurva penawaran.
3secara matematis
dirumuskan bahwa: Profit = TR – TC = PQ – TC. Untuk mencapai profit yang
maksimum diperlukan keadaan:
First
order condition:
dProfit = P – dTC
= P – MC = 0, atau P = MC
dQ
dQ
Second order
condition:
d2Profit = -dMC
< 0, atau dMC > 0
dQ
dQ dQ
4Bila harga lebih
kecil dibandingkan dengan average variable cost, maka lebih baik bagi
perusahaan untuk tidak memproduksi sama sekali. Harga adalah average revenue
(AR). Secara matematis: AR = TR/Q = PQ/Q = P. jika perusahaan menjual pada keadaan
average revenue lebih kecil dibandingkan average variable cost, berarti
perusahaan menderita rugi untuk setiap output yang dijualnya. Oleh karena itu,
adalah lebih baik bagi perusahaan untuk tidak menjual sama sekali untuk
menghindari kerugian.
Untuk
setiap tingkat harga di bawah minimum AVC, jumlah yang ditawarkan adalah nihil.
Pada tingkat harga sama dengan AVC, jumlah yang ditawarkan adalah Q2.
Untuk setiap tingkat harga di atas AVC, jumlah yang ditawarkan digambarkan oleh
kurva MC. Misalnya, pada tingkat harga sama dengan ATC, jumlah yang ditawarkan
adalah Q3. Jadi kurva penawaran adalah kurva marginal cost yang di
atas AVC.
Perhatikanlah
kurva penawaran, yaitu kurva marginal cost yang dicetak tebal. Selisih antara
kurva ATC dan kurva AVC yang digambarkan dengan celah di antara kedua kurva
tersebut, menggambarkan dengan celah di antara kedua kurva tersebut,
menggambarkan AFC (Average Fixed Cost).5
Sekarang perhatikanlah kurva penawaran yang berada diantara kurva ATC dan AVC.
Untuk setiap tingkat harga di AVC, namun di bawah ATC (yaitu antara output Q2
dan Q3), berarti perusahaan mengalami setiap output yang
dijual kerena harga lebih kecil disbanding kerugian ATC.
5TC = FC + VC.
Untuk mendapat biaya rata-rata, kedua sisi dibagi dengan jumlah output Q.
sehingga TC/Q = FC/Q + VC/Q atau ATC = AFC + AVC, sehingga AFC = ATC – AVC.
Gambar 7.4,
Biaya Marginal dan Kurva Supply
Meskipun
harga lebih kecil dibanding ATC, bagi perusahaan lebih baik untuk tetap menjual
outputnya karena pada tingkat harga tersebut perusahaan telah mampu membayar
AVC nya. Kerugian yang masih terjadi adalah sebesar AFC nya. Ingatlah bahwa FC
adalah biaya tetap yang harus dibayar perusahaan apakah perusahaan berproduksi
atau tidak berproduksi. Nah karena AFC akan tetap muncul berapapun jumlah
output yang berproduksi, maka lebih baik bagi perusahaan untuk memproduksi
output sejumlah Q2 sampai dengan Q3.Dengan
demikian,perusahaan berharap memantapkan keberadaan produknya di pasar.Bila
kemudian tingkat harga melampui ATC,perusahaan ini akan melakukan laba.
Bagaimana
bila perusahaan memilih untuk tidak berproduksi bila harga di bawah ATC?
Kerugian perusahaan akan bertambah besar:
1.
Perusahaan harus tetap menanggung AFC.
2.
Perusahaan tidak mempunyai kegiatan operasi
yang berarti apabila para pelaksana perusahaan tidak mempunyai pendapatan. Jadi
sebagai pemilik perusahaan, ia memang tidak bagi hasil dari modal penyertaannya
(atau dividen), namun sebagai
elaksana perusahaan ia tetap mendapat pendapatan berupa upah kerja bila tetap
berproduksi. Sebaliknya jika perusahaan tidak berproduksi, maka ia akan
kehilangan bagi hasil sebagai pemilik dan juga kehilangan upah kerja sebagai
pelaksana.
E.
Producer
surplus
Selisih
antara total revenue dengan total variable cost disebut produser surplus atau quasi rent.6 Produser surplus dapat dihitung dengan
dua cara:
1. Cara
pertama
Secara matematis, total
revenue adalah hasil kali P*Q. Sedangkan total variable cost adalah hasil kali AVC dengan Q. Selisih antara
keduanya digambarkan dengan segi empat yang diarsir yaitu hasil kali antara
(P*-AVC) dengan Q. Inilah yang disebut produser
surplus. Secara matematis ditulis:
Produser surplus = TR - TVC
= (P x Q) - (AVC x Q)
= (P - AVC) x Q
6Untuk membedakan
konsep economic rent sebagai berikut.
Perhatikanlah bahwa variable cost
untuk memproduksi 1 unit output sama dengan marginal
cost pada jumlah output 1 unit. Variable
cost untuk memproduksi 2 unit output sama dengan marginal cost pada jumlah output 1 unit ditambah marginal cost pada jumlah 2 unit, dan
seterusnya. Sehingga VC(Q) = MC (1) + MC (2) + … + MC (Q)
Gambar 7.5, Surplus Produsen/quasi rent
2. Cara
kedua
Cara lain untuk
menghitung produser surplus sebagai
berikut. Perhatikanlah bahwa variable
cost untuk memproduksi 1 unit output sama dengan marginal cost pada jumlah output 1 unit. Variable cost untuk memproduksi 2 unit output sama dengan marginal cost pada jumlah output 1 unit
ditambah marginal cost pada jumlah 2
unit, dan seterusnya. Sehingga VC (Q) = MC (1) + MC (2) + …. + MC (Q).
Q
|
TVC
|
MC
|
SMC
|
0
1
2
3
4
5
6
7
8
|
0
100
200
300
400
500
600
700
800
|
0
100
100
100
100
100
100
100
100
|
0
100
200
300
400
500
600
700
800
|
Gambar 7.6,
Surplus Produsen/Quasi Rent
Secara grafis total variable cost ini digambarkan dengan
daerah yang tidak diarsir yang berada dibawah kurva MC. Sedangkan total revenue adalah hasil kali P dengan
Q. Sehingga produser surplus digambarkan
dengan daerah yang diarsir, yaitu yang dibawah P dan diatas kurva MC.
Cara pertama
lebih mudah untuk menghitung total produser
surplus. Sedangkan cara kedua lebih berguna untuk menghitung perubahan dari
produser surplus yang telah ada (existing produser surplus). Berikutnya
kita akan melihat pengaruh pajak penjualan dan pengaruh zakat perniagaan
terhadap produser surplus.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Membahas teori penawaran Islami, kita
harus kembali kepada sejarah penciptaan manusia. Bumi dan manusia tidak
diciptakan pada saat yang bersamaan. Bumi berevolusi sedemikian rupa sampai
suatu saat segalanya siap untuk manusia, ketika itulah manusia pertama
diciptakan dan diturunkan ke muka bumi sebagaimana Allah SWT berfirman dalam
Surat Ibrahim ayat 32-34.
Pengaruh
zakat terhadap penawaran dapat dilihat dari dua sisi. Yang pertama adalah
melihat pengaruh kewajiban membayar zakat terhadap perilaku penawaran. Dalam
hal ini dicontohkan zakat perniagaan. Di sisi lain adalah pengaruh zakat
produktif, yakni alokasi zakat kegiatan produktif dari mustahik terhadap kurva
penawaran.
Pada
Kurva Penawaran Jangka Pendek adalah bahwa MC, MR, dan kurva biaya variabel
rata-rata (AVC: Average Variable Cost).
Pada setiap harga yang berada di atas P1, maka berapapun penjualan yang
dilakukan oleh produsen, harga selalu melebihi AVC sehingga produsen masih
mendapatkan laba ekonomis positif.
Dalam
jangka pendek perusahaan akan memaksimalkan labanya dengan memilih jumlah
output di mana harga sama dengan marginal cost,3 selama tingkat
harga tersebut lebih besar daripada nilai minimal biaya variabel rata-rata
(average variabel cost, AVC). Jika kedua keadaan tersebut terpenuhi, maka
itulah kurva penawaran.
Selisih
antara total revenue dengan total variable cost disebut produser surplus atau quasi rent.
DAFTAR
PUSTAKA
Karim Adiwarman.A.
2012. Ekonomi Mikro Islam (Edisi
Keempat). PT RajaGrafindo Persada: Jakarta
ekonommuhammad.blogspot.com/2010/01/analisis-teori-penawaran-dalam.html
quran.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar