Selasa, 27 Mei 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Seperti halnya pada permintaan dalam Islam yang diturunkan dari fungsi konsumsi, maka teori penawaran hakikatnya adalah derivasi dari perilaku individu-individu perusahaan dalam analisis biayanya. Pada bagian-bagian di muka telah diterangkan bahwa tidak ada perusahaan yang bersedia berproduksi ketika tingkat harga yang berlaku lebih kecil daripada biaya variable rata-rata. Jadi, setiap peusahaan hanya akan berproduksi jika harga yang berlaku lebih tinggi daripada biaya variabel dari sinilah kita daprata-ratanya. Pada dasarnya terdapat garis harga yang tak terbatas jumlahnya di atas titik perpotongan antara kurva biaya marginal dengan kurva biaya variabel rata-rata, dan dari sinilah kita dapat menemukan berapa kuantitas yang dapat ditawarkan pada setiap tingkatan harga.
Berbicara tentang teori penawaran dalam kerangka ekonomi Islam sebenarnya merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang teori permintaan dalam ekonomi Islam. Sama halnya dalam ilmu ekonomi konvensional, dalam ilmu ekonomi Islam pembahasan persoalan ini menyangkut faktor-faktor atau variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kedudukan penawaran suatu barang atau jasa tertentu.
Sebagian penjelasan tentang aspek penawaran dalam ekonomi Islam telah diungkapkan dalam penjelasan tentang permintaan (Basri: 2006). Pertama, Simplikasi diatas dirasa belum mampu mewakili pemahaman teori penawaran islam secara gamblang (menyeluruh), karena jelas yang diungkap lebih banyak mengenai teori permintaan. Sehingga perlu ada penjelasan atau pemaparan tersendiri mengenai teori penawaran Islam melalui pendekatan analisis sisi persamaan dan jelas perbedaanya dengan teori penawaran dalam ekonomi konvensional. Kedua, Seiring rasa keingintahuan yang tinggi mengenai teori penawaran dalam Ekonomi Islam, juga didorong oleh adanya stimulus yang dihadirkan dosen pengampu untuk membuat paparan dalam bentuk makalah (Paper) dan persentasi maka keharusan untuk memahami bahasan ini semakin menjadi-jadi.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami hanya akan membahas hal-hal mengenai teori penawaran dalam Ekonomi Mikro Islam.
B.            Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Teori Penawaran Islami?
2.    Bagaimana Pengaruh Zakat terhadap Penawaran?
3.    Bagaimana Kurva Penawaran Jangka Pendek dalam Teori Penawaran Islami?
4.    Bagaimana Marginal Cost dan Kurva Penawaran dalam Teori Penawaran Islami?
5.    Apakah yang dimaksud Produser Surplus?



C.           Tujuan
1.    Untuk mengetahui tentang Teori Penawaran Islami.
2.    Untuk mengetahui Pengaruh Zakat terhadap Penawaran.
3.    Untuk mengetahui bagaimana Kurva Penawaran Jangka Pendek dalam Teori Penawaran Islami.
4.    Untuk mengetahui bagaimana Marginal Cost dan Kurva Penawaran dalam Teori Penawaran Islami.
5.    Untuk mengetahui apa itu Produser Surplus.











BAB II
PEMBAHASAN
A.           Teori Penawaran Islami
Membahas teori penawaran Islami, kita harus kembali kepada sejarah penciptaan manusia. Bumi dan manusia tidak diciptakan pada saat yang bersamaan. Bumi berevolusi sedemikian rupa sampai suatu saat segalanya siap untuk manusia, ketika itulah manusia pertama diciptakan dan diturunkan ke muka bumi. Apa makna dari kisah tersebut? Tidak lain dan tidak bukan maknanya adalah bahwa Allah swt telah rnempersiapkan bumi ini untuk kepentingan manusia. Lihatlah Surat lbrahim ayat 32-34 berikut:

Artinya:
32. Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
33. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.
34. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).
Firman-Nya dalam surat Luqman ayat 20:
Artinya:
20. Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.
Dalam memanfaatkan alam yang telah disediakan Allah bagi keperluan manusia, larangan yang harus dipatuhi adalah “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Larangan ini tersebar di banyak tempat dalam Al-Qur'an dan betapa Allah sangat membenci mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi. Meskipun definisi kerusakan tersebut sangat luas, akan tetapi dalam kaitannya dengan produksi, larangan tersebut memberi arahan nilai dan panduan moral.
Produksi Islami bukan hanya dilarang mengakibatkan kerusakan dalam memanfaatkan alam dan lingkungan, artinya ia tidak boleh mengakibatkan hutan menjadi gundul dan berubah menjadi lahan kritis yang mengakibatkan banjir dan longsor, menimbulkan polusi yang di atas ambang batas yang aman bagi kesehatan. Produksi Islami juga haram menghasilkan produk-produk yang apabila dikonsumsi akan menimbulkan kerusakan, baik itu rusaknya kesehatan, apalagi rusalanya moral dan kepribadian. Contoh, jika telah terbukti secara ilmiah bahwa rokok menimbulkan begitu banyak mudarat dibandingkan manfaat yang dihasilkannya maka memproduksi rokok adalah hal yang tidak Islami. Sudah barang tentu, Islam melarang produksi barang-barang yang diharamkan seperti minuman keras, obat bius, dan sebagainya. Demikian pula barang dan jasa yang merusak akhlak seperti hiburan-hiburan yang tidak mendidik.
Aturan etika dan moral yang membatasi kegiatan produksi tersebut tentu saja berpengaruh terhadap fungsi penawaran barang dan jasa. Sebagai contoh, apabila suatu proses produksi menghasilkan polusi, maka biaya lingkungan dan sosial tersebut harus dihitung dalam ongkos produksi sehingga ongkos meningkat dan penawaran akan berkurang. Dampaknya, kurva penawaran akan bergeser ke kiri. Di negara Barat, dalam tersebut telah dilakukan dengan mengenakan pajak polusi atau dikenal dengan istilah Pigouvian Tax yang tujuannya agar perusahaan memperhitungkan biaya eksternal yang timbul akibat kegiatan produksinya sehingga mempengaruhi keputusan produksi dan penjualannya.
Secara umum tidak banyak perbedaan antara teori permintaan konvensional dengan Islami sejauh hal itu dikaitkan dengan variabel atau faktor yang turut berpengaruh terhadap posisi penawaran. Bahkan bentuk kurva secara umum pada hakekatnya sama. Satu aspek penting yang memberikan suatu perbedaan dalam pespektif ini kemungkinan besar berasal dari landasan filosofi dan moralitas yang didasarkan pada premis nilai-nilai Islam.
Pertama adalah bahwa Islam memandang manusia secara umum, apakah sebagai konsumen atau produsen, sebagai suatu objek yang terkait dengan nilai-nilai. Nilai-nilai yang paling pokok yang didorong oleh Islam dalam kehidupan perekonomian adalah kesederhanaan, tidak silau dengan gemerlapnya kenikmatan duniawi (zuhud) dan ekonomis (iqtishad). Inilah nilai-nilai yang seharusnya menjadi trend gaya hidup Islamic man. Kedua adalah norma-norma Islam yang selalu menemani kehidupan manusia yaitu halal dan haram. Produk-produk dan transaksi pertukaran barang dan jasa tunduk kepada norma ini. Hal-hal yang diharamkan atas manusia itu pada hakekatnya adalah barang-barang atau transaksi-transaksi yang berbahaya bagi diri mereka dan kemaslahatannya.
Namun demikian, bahaya yang ditimbulkan itu tidak selalu dapat diketahui dan dideteksi oleh kemampuan indrawi atau akal manusia dalam jangka pendek. Sikap yang benar dalam menghadapi persoalan ini adalah kepatuhan kepada diktum disertai pencarian hikmah di balik itu. Dengan kedua batasan ini maka lingkup produksi dan pada gilirannya adalah lingkup penawaran itu sendiri dalam ekonomi Islam menjadi lebih sempit dari padayang dimiliki oleh ekonomi konvensional. Dengan demikian terdapat dua penyaringan (filtering) yang membuat wilayah penawaran (domain) dalam ekonomi Islam menyempit yaitu filosofi kehidupan Islam dan norma moral Islam.
1.    Asumsi-Asumsi
Sekalipun jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh buku-buku teks ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu telah berfungsi sebagai landasan bagi teori-teori mereka. Ketidakterusterangan dalam persoalan ini bisa saja dipicu oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang menjadi nilai bagi mereka sebenarnya berlaku juga bagi masyarakat lain. Tokoh ekonom Barat yang paling egaliter semacam Gunnar Myrdal sekalipun masih menyimpan sikap etnosentris yang menganggap bahwa nilai-nilai yang menjadi pondasi kemajuan ekonomi Barat sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia. Karena itulah perlu kiranya kita menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang memiliki implikasi dalam aspek penawaran.
Pertama, homo economicus. Dalam ekonomi konvensional, para pelaku dan pemain ekonomi (economic agent) dipandang sebagai suatu makhluk ekonomi yang berusaha untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun. Nafsu ingin memenuhi segala keinginannya dan cara yang dipakai untuk memenuhinya seringkali atau pada umumnya tidak dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan norma moral, baik yang diambil dari ajaran agama maupun dari filsafat (etiket). Hal ini menimbulkan dorongan tanpa batas untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber-sumber daya yang tersedia di alam bagi pemenuhi keinginan manusia. Selama usaha manusia dipertaruhkan untuk memenuhi keinginannya, mengejar keuntungan dalam teori penawaran, selama itu pula ia dianggap sebagau sebuah usaha yang baik. Hal ini menimbulkan pengurasan sumber daya alam yang tersedia sehingga berakibat pada terancamnya keseimbangan ekologi terutama bagi generasi mendatang.
Semua kreasi dan inovasi dipacu dan terus diraih atas nama ekonomi. Padahal tidak semua barang atau jasa yang diproduksi tersebut penting untuk diciptakan bagi kepentingan manusia. Sebagian dari barang yang diproduksi itu pada hakekatnya suatu bentuk kemubaziran karena sebenarnya tidak perlu diproduksi atau sebenarnya ada barang lain yang menempati ranking lebih penting harus terlebih dahulu diproduksi. Hal ini mengakibatkan sistem perekonomian menjadi tidak dapat dikendalikan (unmanageable).
Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah). Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara syar’i.
Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic man yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun, maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan pikirannya untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah makhluk rasional. Ketika produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak perlu dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai guna (utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas dan hal itu secara ekonomi adalah baik.
Dalam perspektif ekonomi Islam, asumsi ini tetap menjadi acuan tetapi dengan beberapa catatan dan tambahan. Adanya injeksi norma moral Islam akan menjadi pelita bagi tiap-tiap agen ekonomi untuk bertindak rasional tetapi dalam kerangka nilai-nilai Islam. Gaya hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam memproduksi dan mengkonsumsi serta selalu memperhatikan batas halal dan haram merupakan rambu-rambu yang akan memberikan teguran kepada Islamic man. Ketiga, netral terhadap nilai (value netral). Asumsi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari disiplin ilmu ekonomi konvensional yang dipandang sebagai disiplin positif.
Tugas dari suatu disiplin yang positif adalah menggambarkan realitas atau suatu fenomena secara objektif tanpa ada unsur campur tangan dari pengamat. Di awal-awal perkembangan ilmu ekonomi menjadi suatu disiplin ilmiah, banyak pakarnya yang cenderung menjadikannya sebagai suatu ilmu positif dan eksak layaknya fisika atau kimia. Sekalipun hingga sekarang terbukti bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak selalu positif, tetapi buku-buku teks masih selalu alergi jika dikaitkan dengan moral terutama yang berasal dari nilai-nilai keagamaan. Gejala ini disebabkan karena sekulerisme dalam ilmu pengetahun telah mencapai akar-akarnya sehingga buah yang muncul dari ilmu pengetahun itu sudah terkena racun sekulerisme. Namun perlu dicatat bahwa asumsi netral terhadap nilai ini tidak selalu dapat dipertahankan.
Umumnya dalam bidang ilmu mikro ekonomi akar netralitas ini begitu kuat dan menghujam, tetapi dalam makro ekonomi tidak demikian. Malahan kita dapat melihat bahwa semua tujuan-tujuan pokok dalam bidang makroekonomi pada hakekatnya adalah bermuatan nilai (value laden) misalnya tentang kesempatan kerja penuh (full employment), stabilitas nilai tukar dan harga dan lain-lain. Bahkan kebijakan pemerintah di hampir semua bidang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai.
Adanya keterikatan kepada nilai dalam penawaran tidak menjadikan kinerja produksi dan penawaran dalam perspektif Islam kekurangan insentif. Dengan injeksi moral Islam justru membuka dan mempeluas horizon dan berfungsi mendorong agen ekonomi untuk berusaha dengan lebih baik dan efisien. Bagi mereka yang memahami Islam secara parsial dan tidak komprehensif merasa bahwa semua nilai-nilai ini hanya berfungsi sebagai hambatan dalam ekonomi dan pembangunan. Kesimpulan ini amat naif dan terkesan tergesa-gesa serta dilatarbelakangi oleh kebodohan.

B.            Pengaruh Zakat Terhadap Penawaran
Pengaruh zakat terhadap penawaran dapat dilihat dari dua sisi. Yang pertama adalah melihat pengaruh kewajiban membayar zakat terhadap perilaku penawaran. Dalam hal ini dicontohkan zakat perniagaan. Di sisi lain adalah pengaruh zakat produktif, yakni alokasi zakat kegiatan produktif dari mustahik terhadap kurva penawaran.
Zakat yang dikenakan pada hasil produksi adalah zakat perniagaan, yang baru dikenakan apabila hasil produksi dijual dan hasil penjualan telah memenuhi nisab (batas minimal harta yang menjadi objek zakat yaitu setara 96 gram emas) dan haul (batas minimal waktu harta tersebut dimiliki yaitu satu tahun). Bila nisab dan haul telah terpenuhi, maka wajiblah dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5%.
Objek zakat perniagaan adalah barang yang diperjualbelikan. Dalam ilmu ekonomi, ini berarti yang menjadi objek zakat perniagaan adalah revenue minus cost. Ulama berbeda pendapat mengenai komponen biaya. Sebagian berpendapat bahwa biaya tetap boleh diperhitungkan, sedang sebagian lainnya berpendapat bahwa hanya biaya variabel saja yang boleh diperhitungkan. Dalam ilmu ekonomi pendapat pertama berarti yang menjadi objek zakat adalah economic rent, sedangkan pendapat kedua berarti yang menjadi objek zakat adalah quasi rent atau producer surplus.
Pendapat mana pun yang digunakan atas objek zakat ini sama sekali tidak memberikan pengaruh terhadap ATC, yang berarti pula tidak ada pengaruh terhadap profit yang dihasilkan. Pengenaan zakat perniagaan juga sama sekali tidak memberikan pengaruh terhadap MC, yang berarti pula tidak memberikan pengaruh terhadap kurva penawaran. Upaya memaksimalkan profit berarti pula memaksimalkan producer surplus, dan sekaligus berarti memaksimalkan zakat yang harus dibayar. Jadi dengan adanya pengenaan zakat perniagaan perilaku memaksimalkan profit berjalan sejalan dengan perilaku memaksimalkan zakat.

C.           Kurva Penawaran Jangka Pendek
Pada gambar 7.1 di bawah ini tampak bahwa MC, MR, dan kurva biaya variabel rata-rata (AVC: Average Variable Cost). Pada setiap harga yang berada di atas P1, maka berapapun penjualan yang dilakukan oleh produsen, harga selalu melebihi AVC sehingga produsen masih mendapatkan laba ekonomis positif.
Apabila harga berada pada saat MC sama dengan AVC, maka titik perpotongan ini disebut titik impas jangka pendek (short-run break-event point. Di mana pada harga ini produsen tidak mendapatkan laba ekonomis, namun hanya mencapai tingkat BEP saja. Dengan demikian, titik impas tersebut hanya akan beroperasi pada saat harga di atas AVC. Untuk mendapatkan tingkat keuntungan optimal produsen akan
 









berproduksi ketika MC=MR, apabila kita asumsikan pasar bersifat persaingan sempurna maka harga (p) juga berfungsi sebagai MR. dengan demikian, MC=P=MR, pada gambar 7.1 di atas bila harga yang berlaku di pasar dalam jangka pendek adalah P* maka produsen akan memperoleh keuntungan ekonomis sebesar P*E*QS. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa kurva MC yang berada di atas kurva AVC adalah garis yang menerangkan produsen bersedia berproduksi. Untuk memperjelas, kurva penawaran, pada gambar 7.1 apabila U1 dan U2 dihubungkan, maka kita akan mendapatkan kurva penawaran. Perlu diingat bahwa kurva penawaran seperti yang tampak pada gambar 7.1 adalah fungsi penawaran untuk individu produsen dan bukannya fungsi penawaran untuk industry atau pasar. 
Kurva penawaran jangka pendek dari suatu sektor industri secara keseluruhan dapat dirumuskan lewat penjumlahan horizontal seluruh kurva penawaran jangka pendek masing-masing aperusahaan. Untuk mengilustrasikan penjumlahan horizontal kurva penawaran ini dapat dilihat pada gambar 7.2 di bawah ini.







Kurva marginal untuk kedua perusahaan yang berbeda dilambangkan dengan MCa pada panel (a) dan MCb pada panel (b). Kedua kurva biaya marginal ini hanya berlaku bila harga-harga lebih besar daripada biaya variabel rata-rata minimum dari masing-masing produsen. Pada panel (a), perusahaan hanya akan berproduksi sebanyak q1a, jika harga yang berlaku adalah P1 dan bila harganya P2, maka perusahaan akan berproduksi sebesar q2a. Hal ini juga berlaku bagi produsen kedua yang akan berproduksi pada q1b apabila harga yang berlaku P1 begitu juga bila harga berada pada P2 maka produsen kedua akan berproduksi pada q2b. Kalau kita asumsikan industri yang sama hanyalah produsen a dan b maka penambahan secara horizontal merupakan penawaran industri atau ∑ MC.
D.           Marginal cost dan kurva penawaran
Dalam jangka pendek perusahaan akan memaksimalkan labanya dengan memilih jumlah output di mana harga sama dengan marginal cost,3 selama tingkat harga tersebut lebih besar daripada nilai minimal biaya variabel rata-rata (average variabel cost, AVC).4 Jika kedua keadaan tersebut terpenuhi, maka itulah kurva penawaran.




3secara matematis dirumuskan bahwa: Profit = TR – TC = PQ – TC. Untuk mencapai profit yang maksimum diperlukan keadaan:
First order condition:
dProfit = P – dTC = P – MC = 0, atau P = MC
   dQ        dQ
Second order condition:
d2Profit = -dMC < 0, atau dMC > 0
   dQ        dQ                 dQ
4Bila harga lebih kecil dibandingkan dengan average variable cost, maka lebih baik bagi perusahaan untuk tidak memproduksi sama sekali. Harga adalah average revenue (AR). Secara matematis: AR = TR/Q = PQ/Q = P. jika perusahaan menjual pada keadaan average revenue lebih kecil dibandingkan average variable cost, berarti perusahaan menderita rugi untuk setiap output yang dijualnya. Oleh karena itu, adalah lebih baik bagi perusahaan untuk tidak menjual sama sekali untuk menghindari kerugian.
Untuk setiap tingkat harga di bawah minimum AVC, jumlah yang ditawarkan adalah nihil. Pada tingkat harga sama dengan AVC, jumlah yang ditawarkan adalah Q2. Untuk setiap tingkat harga di atas AVC, jumlah yang ditawarkan digambarkan oleh kurva MC. Misalnya, pada tingkat harga sama dengan ATC, jumlah yang ditawarkan adalah Q3. Jadi kurva penawaran adalah kurva marginal cost yang di atas AVC.
Perhatikanlah kurva penawaran, yaitu kurva marginal cost yang dicetak tebal. Selisih antara kurva ATC dan kurva AVC yang digambarkan dengan celah di antara kedua kurva tersebut, menggambarkan dengan celah di antara kedua kurva tersebut, menggambarkan AFC (Average Fixed Cost).5 Sekarang perhatikanlah kurva penawaran yang berada diantara kurva ATC dan AVC. Untuk setiap tingkat harga di AVC, namun di bawah ATC (yaitu antara output Q2 dan Q3), berarti perusahaan mengalami setiap output yang dijual kerena harga lebih kecil disbanding kerugian ATC.













5TC = FC + VC. Untuk mendapat biaya rata-rata, kedua sisi dibagi dengan jumlah output Q. sehingga TC/Q = FC/Q + VC/Q atau ATC = AFC + AVC, sehingga AFC = ATC – AVC.
 








Gambar 7.4, Biaya Marginal dan Kurva Supply
Meskipun harga lebih kecil dibanding ATC, bagi perusahaan lebih baik untuk tetap menjual outputnya karena pada tingkat harga tersebut perusahaan telah mampu membayar AVC nya. Kerugian yang masih terjadi adalah sebesar AFC nya. Ingatlah bahwa FC adalah biaya tetap yang harus dibayar perusahaan apakah perusahaan berproduksi atau tidak berproduksi. Nah karena AFC akan tetap muncul berapapun jumlah output yang berproduksi, maka lebih baik bagi perusahaan untuk memproduksi output sejumlah Q2 sampai dengan Q3.Dengan demikian,perusahaan berharap memantapkan keberadaan produknya di pasar.Bila kemudian tingkat harga melampui ATC,perusahaan ini akan melakukan laba.
Bagaimana bila perusahaan memilih untuk tidak berproduksi bila harga di bawah ATC? Kerugian perusahaan akan bertambah besar:
1.    Perusahaan harus tetap menanggung AFC.
2.    Perusahaan tidak mempunyai kegiatan operasi yang berarti apabila para pelaksana perusahaan tidak mempunyai pendapatan. Jadi sebagai pemilik perusahaan, ia memang tidak bagi hasil dari modal penyertaannya (atau dividen), namun sebagai elaksana perusahaan ia tetap mendapat pendapatan berupa upah kerja bila tetap berproduksi. Sebaliknya jika perusahaan tidak berproduksi, maka ia akan kehilangan bagi hasil sebagai pemilik dan juga kehilangan upah kerja sebagai pelaksana.

E.            Producer surplus
Selisih antara total revenue dengan total variable cost disebut produser surplus atau quasi rent.6 Produser surplus dapat dihitung dengan dua cara:
1.    Cara pertama
Secara matematis, total revenue adalah hasil kali P*Q. Sedangkan total variable cost adalah hasil kali AVC dengan Q. Selisih antara keduanya digambarkan dengan segi empat yang diarsir yaitu hasil kali antara (P*-AVC) dengan Q. Inilah yang disebut produser surplus. Secara matematis ditulis:
Produser surplus       = TR - TVC
                                    = (P x Q) - (AVC x Q)
                                    = (P - AVC) x Q




6Untuk membedakan konsep economic rent sebagai berikut. Perhatikanlah bahwa variable cost untuk memproduksi 1 unit output sama dengan marginal cost pada jumlah output 1 unit. Variable cost untuk memproduksi 2 unit output sama dengan marginal cost pada jumlah output 1 unit ditambah marginal cost pada jumlah 2 unit, dan seterusnya. Sehingga VC(Q) = MC (1) + MC (2) + … + MC (Q)
 









Gambar 7.5, Surplus Produsen/quasi rent




2.    Cara kedua
Cara lain untuk menghitung produser surplus sebagai berikut. Perhatikanlah bahwa variable cost untuk memproduksi 1 unit output sama dengan marginal cost pada jumlah output 1 unit. Variable cost untuk memproduksi 2 unit output sama dengan marginal cost pada jumlah output 1 unit ditambah marginal cost pada jumlah 2 unit, dan seterusnya. Sehingga VC (Q) = MC (1) + MC (2) + …. + MC (Q).
Q
TVC
MC
SMC
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0
100
200
300
400
500
600
700
800
0
100
100
100
100
100
100
100
100
0
100
200
300
400
500
600
700
800







                                    Gambar 7.6, Surplus Produsen/Quasi Rent
          Secara grafis total variable cost ini digambarkan dengan daerah yang tidak diarsir yang berada dibawah kurva MC. Sedangkan total revenue adalah hasil kali P dengan Q. Sehingga produser surplus digambarkan dengan daerah yang diarsir, yaitu yang dibawah P dan diatas kurva MC.
   Cara pertama lebih mudah untuk menghitung total produser surplus. Sedangkan cara kedua lebih berguna untuk menghitung perubahan dari produser surplus yang telah ada (existing produser surplus). Berikutnya kita akan melihat pengaruh pajak penjualan dan pengaruh zakat perniagaan terhadap produser surplus.
BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
          Membahas teori penawaran Islami, kita harus kembali kepada sejarah penciptaan manusia. Bumi dan manusia tidak diciptakan pada saat yang bersamaan. Bumi berevolusi sedemikian rupa sampai suatu saat segalanya siap untuk manusia, ketika itulah manusia pertama diciptakan dan diturunkan ke muka bumi sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surat Ibrahim ayat 32-34.
Pengaruh zakat terhadap penawaran dapat dilihat dari dua sisi. Yang pertama adalah melihat pengaruh kewajiban membayar zakat terhadap perilaku penawaran. Dalam hal ini dicontohkan zakat perniagaan. Di sisi lain adalah pengaruh zakat produktif, yakni alokasi zakat kegiatan produktif dari mustahik terhadap kurva penawaran.
Pada Kurva Penawaran Jangka Pendek adalah bahwa MC, MR, dan kurva biaya variabel rata-rata (AVC: Average Variable Cost). Pada setiap harga yang berada di atas P1, maka berapapun penjualan yang dilakukan oleh produsen, harga selalu melebihi AVC sehingga produsen masih mendapatkan laba ekonomis positif.
Dalam jangka pendek perusahaan akan memaksimalkan labanya dengan memilih jumlah output di mana harga sama dengan marginal cost,3 selama tingkat harga tersebut lebih besar daripada nilai minimal biaya variabel rata-rata (average variabel cost, AVC). Jika kedua keadaan tersebut terpenuhi, maka itulah kurva penawaran.
Selisih antara total revenue dengan total variable cost disebut produser surplus atau quasi rent.














DAFTAR PUSTAKA
Karim Adiwarman.A. 2012. Ekonomi Mikro Islam (Edisi Keempat). PT RajaGrafindo Persada: Jakarta
ekonommuhammad.blogspot.com/2010/01/analisis-teori-penawaran-dalam.html
quran.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar